“Bagaimana
Media menjarah sistem politik kita”
“Bagaimana
Media menjadi alat politik bagi para elit politik”
“Bagaimana
pada akhirnya Media menjadi fokus bagi golongan politik”
Tahun 2014 akan menjadi tahun
bersejarah untuk Pesta Demokrasi di Tanah Air, segenap rakyat pun turut
bergembira. Terlebih dengan para pembuat spanduk, flyer ataupun pamphlet,
juga bagi mereka yang mengharapkan pembagian sembako serta amplop dibalik
tangan mereka usai lelah berkampanye.
Tahun 2014 menjadi akhir dari 4 tahun
pencitraan diri, merupakan hasil akhir dari kerja keras sepanjang 4 tahun yang telah
dilalui sejak pemilihan terakhir di Tanah Air.
Tahun 2014 tertanggal 09 Juli merupakan
titik temu dari sebuah proses yang telah terjadi sebelumnya.
Dan disinilah kita sekarang, ditengah
himpitan waktu kampanye terbuka. Spanduk, pamphlet,
selebaran dan segala atribut kampanye terpajang sejauh mata memandang. Basis-basis
daerah menjadi ajang show bagi segala
visi-misi dari sang capres dan cawapres. Banyak orang memakai baju yang
memperlihatkan dukungan dan pilihannya, semua meneriakkan betapa baiknya calon
yang mereka pilih.
Begitu pun dengan media sekarang ini. Dari
mual hingga muak, kini media telah menjadi tonggak pencitraan, segala media
memiliki dapuk dalam pencitraan. Tapi
media pertelevisianlah yang dari dulu hingga kini memiliki popularitas yang
bukan saja mencengangkan tetapi juga memiliki andil yang lebih dibanding dengan
media apapun.
Mungkin kita sudah lelah disuguhi
iklan-iklan dari berbagai media yang berpihak pada salah satu calon, dari yang
sembunyi-sembunyi agar tidak dicap sebagai media yang kurang independen, sampai
dengan media yang secara terbuka mendukung salah satu calon. Dalam setiap detail
berita yang terpancar, sang calon pilihan adalah yang paling banyak disorot,
tak lupa menunjukkan kelebihan-kelebihannya dengan melupakan fakta bahwa
kekurangan dari calon tersebut sama pentingnya dengan kelebihan yang mereka
miliki, dengan melewatkan napak tilas dari sang calon, mendramatisir, hingga
memberikan bumbu penyedap bagi kehidupannya guna mendapatkan dukungan yang
berlimpah.
Media, terutama pertelevisian yang
memang tak bisa lepas dari perpolitikan, yang seharusnya menjadi media netral
untuk menghadirkan realisasi dari pasangan pemimpin dan juga sebagai mediasi
bagi berita-berita yang simpang siur sudah tidak bisa tegak berdiri sendiri
lagi. Ini semua bukan hanya didukung oleh betapa tipisnya batas antara mediasi
dan mendukung, terlebih pemilik media kini merupakan elit politik yang selalu
diberikan tampuk kekuatan dari partai politiknya sendiri.
Berbagai media yang kini dikuasai oleh si
pemilik yang juga bagian dari elit politik memberikan nuansa yang selalu
berlebihan menjelang pemilu. Ini sama dengan bagian bagaimana politik
memperlakukan media, menjadikan pemilik sebagai pemegang tampuk kekuasan dalam
elit politik mungkin yang kini menjadi bagian dari strategi untuk memonopoli
media.
Media bukan hanya media yang ampuh dari
segi promosi, tapi merupakan sebuah drama eksotis untuk menampilkan sesuatu
yang bersifat pragmatis dan menonjolkan kesensitifan yang langsung menyentuh ke
hati, merekayasa berbagai bagian untuk dijadikan dan menjadikannya penuh makna.
Media bukan alat dimana kita berteriak-teriak seperti ketika berkampanye, bukan
bagaimana kita berbicara dengan lantang dan tegas, bukan bagaimana pada
akhirnya kita memberikan baju, makanan dan amplop untuk tiap-tiap orang atas
rasa terima kasih karena telah datang dan diharapkan memilih. Media bekerja
dalam keheningan, media bekerja dalam keselarasan bagaimana mempengaruhi, media
bekerja dengan menyampaikan segala sesuatunya penuh makna.
Penduduk Indonesia tidak lebih adalah
orang yang welas asih, orang-orang berbudi dan sungguh baik hati. Penduduk
Indonesia tidak lebih adalah yang paling mudah tersentuh dan mengutuk apapun yang
dibilang orang salah, namun jarang memeriksa sendiri kebenarannya karena
terlalu malas. Kebanyakan penduduk Indonesia menelan mentah-mentah berita dari
apa yang mereka dengar dan mereka lihat. Disinilah kekuatan politik yang berselingkuh
dari etika jurnalistik memanfaatkan media untuk menjadi alat politik. Kekuatan
dari rasa welas asih orang Indonesia memudahkan media yang telah berselingkuh
mempengaruhi pikiran dan akhirnya memilih apa yang mereka tawarkan.
Masyarakat tertipu. Media pun tak
elaknya turut tertipu, karena kepentingan-kepentingan dibaliknya menjadi lebih
berkuasa daripada apa yang seharusnya dilaksanakan. Bahkan pemerintah yang
sudah menggempur keras dengan mengeluarkan 5 aturan untuk media pada hari pers
nasional diselewengkan.
Pada akhirnya masyarakatlah yang
menjadi korban media, dan media menjadi korban bagi kepentingan-kepentingan
dibaliknya.
Pada akhirnya masyarakat siap gigit
jari ketika media melempar-lempar fakta serta kebohongan ke tengah publik, dan
media gigit besi ketika mereka dilempari hujanan kritik dari masyarakat.
Pada akhirnya masyarakatlah yang harus
menjadi apatis terhadap segala sesuatunya, dan media menjadi boneka pemilik.
Sudah saatnya media berhenti menjadi
media kapitalis bagi kepentingan-kepentingan pemilik. Sudah saatnya media
berhenti di-bully oleh golongan
politik. Sudah saatnya media menjadi sebuah alat netral bagi masyarakat dengan
kebebasannya untuk memilih, bukan dirongrong untuk pilihannya.
Media! Hidup mati independen!
Ide : Ant.nugros - St. Arnoldus Janssen
Penulis : Aiu - Sta. Clara
Kata Kunci : media, politik, masyarakat, Indonesia