Jumat, 13 Juni 2014

POLITIK MEDIA

Bagaimana Media menjarah sistem politik kita”
“Bagaimana Media menjadi alat politik bagi para elit politik”
“Bagaimana pada akhirnya Media menjadi fokus bagi golongan politik”

 

Tahun 2014 akan menjadi tahun bersejarah untuk Pesta Demokrasi di Tanah Air, segenap rakyat pun turut bergembira. Terlebih dengan para pembuat spanduk, flyer ataupun pamphlet, juga bagi mereka yang mengharapkan pembagian sembako serta amplop dibalik tangan mereka usai lelah berkampanye.

Tahun 2014 menjadi akhir dari 4 tahun pencitraan diri, merupakan hasil akhir dari kerja keras sepanjang 4 tahun yang telah dilalui sejak pemilihan terakhir di Tanah Air.

Tahun 2014 tertanggal 09 Juli merupakan titik temu dari sebuah proses yang telah terjadi sebelumnya.

Dan disinilah kita sekarang, ditengah himpitan waktu kampanye terbuka. Spanduk, pamphlet, selebaran dan segala atribut kampanye terpajang sejauh mata memandang. Basis-basis daerah menjadi ajang show bagi segala visi-misi dari sang capres dan cawapres. Banyak orang memakai baju yang memperlihatkan dukungan dan pilihannya, semua meneriakkan betapa baiknya calon yang mereka pilih.

Begitu pun dengan media sekarang ini. Dari mual hingga muak, kini media telah menjadi tonggak pencitraan, segala media memiliki dapuk dalam pencitraan. Tapi media pertelevisianlah yang dari dulu hingga kini memiliki popularitas yang bukan saja mencengangkan tetapi juga memiliki andil yang lebih dibanding dengan media apapun.

Mungkin kita sudah lelah disuguhi iklan-iklan dari berbagai media yang berpihak pada salah satu calon, dari yang sembunyi-sembunyi agar tidak dicap sebagai media yang kurang independen, sampai dengan media yang secara terbuka mendukung salah satu calon. Dalam setiap detail berita yang terpancar, sang calon pilihan adalah yang paling banyak disorot, tak lupa menunjukkan kelebihan-kelebihannya dengan melupakan fakta bahwa kekurangan dari calon tersebut sama pentingnya dengan kelebihan yang mereka miliki, dengan melewatkan napak tilas dari sang calon, mendramatisir, hingga memberikan bumbu penyedap bagi kehidupannya guna mendapatkan dukungan yang berlimpah.


Media, terutama pertelevisian yang memang tak bisa lepas dari perpolitikan, yang seharusnya menjadi media netral untuk menghadirkan realisasi dari pasangan pemimpin dan juga sebagai mediasi bagi berita-berita yang simpang siur sudah tidak bisa tegak berdiri sendiri lagi. Ini semua bukan hanya didukung oleh betapa tipisnya batas antara mediasi dan mendukung, terlebih pemilik media kini merupakan elit politik yang selalu diberikan tampuk kekuatan dari partai politiknya sendiri.

Berbagai media yang kini dikuasai oleh si pemilik yang juga bagian dari elit politik memberikan nuansa yang selalu berlebihan menjelang pemilu. Ini sama dengan bagian bagaimana politik memperlakukan media, menjadikan pemilik sebagai pemegang tampuk kekuasan dalam elit politik mungkin yang kini menjadi bagian dari strategi untuk memonopoli media.

Media bukan hanya media yang ampuh dari segi promosi, tapi merupakan sebuah drama eksotis untuk menampilkan sesuatu yang bersifat pragmatis dan menonjolkan kesensitifan yang langsung menyentuh ke hati, merekayasa berbagai bagian untuk dijadikan dan menjadikannya penuh makna. Media bukan alat dimana kita berteriak-teriak seperti ketika berkampanye, bukan bagaimana kita berbicara dengan lantang dan tegas, bukan bagaimana pada akhirnya kita memberikan baju, makanan dan amplop untuk tiap-tiap orang atas rasa terima kasih karena telah datang dan diharapkan memilih. Media bekerja dalam keheningan, media bekerja dalam keselarasan bagaimana mempengaruhi, media bekerja dengan menyampaikan segala sesuatunya penuh makna.

Penduduk Indonesia tidak lebih adalah orang yang welas asih, orang-orang berbudi dan sungguh baik hati. Penduduk Indonesia tidak lebih adalah yang paling mudah tersentuh dan mengutuk apapun yang dibilang orang salah, namun jarang memeriksa sendiri kebenarannya karena terlalu malas. Kebanyakan penduduk Indonesia menelan mentah-mentah berita dari apa yang mereka dengar dan mereka lihat. Disinilah kekuatan politik yang berselingkuh dari etika jurnalistik memanfaatkan media untuk menjadi alat politik. Kekuatan dari rasa welas asih orang Indonesia memudahkan media yang telah berselingkuh mempengaruhi pikiran dan akhirnya memilih apa yang mereka tawarkan.


Masyarakat tertipu. Media pun tak elaknya turut tertipu, karena kepentingan-kepentingan dibaliknya menjadi lebih berkuasa daripada apa yang seharusnya dilaksanakan. Bahkan pemerintah yang sudah menggempur keras dengan mengeluarkan 5 aturan untuk media pada hari pers nasional diselewengkan.

Pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban media, dan media menjadi korban bagi kepentingan-kepentingan dibaliknya.
Pada akhirnya masyarakat siap gigit jari ketika media melempar-lempar fakta serta kebohongan ke tengah publik, dan media gigit besi ketika mereka dilempari hujanan kritik dari masyarakat.
Pada akhirnya masyarakatlah yang harus menjadi apatis terhadap segala sesuatunya, dan media menjadi boneka pemilik.

Sudah saatnya media berhenti menjadi media kapitalis bagi kepentingan-kepentingan pemilik. Sudah saatnya media berhenti di-bully oleh golongan politik. Sudah saatnya media menjadi sebuah alat netral bagi masyarakat dengan kebebasannya untuk memilih, bukan dirongrong untuk pilihannya.

Media! Hidup mati independen!
Ide : Ant.nugros - St. Arnoldus Janssen

Penulis : Aiu - Sta. Clara

Kata Kunci : media, politik, masyarakat, Indonesia

0 komentar :

Posting Komentar